Presidential Threshold Dihapus, Peneliti LSJ FH UGM Ungkap Dampak Negatif dan Berikan Saran

Presidential Threshold Dihapus, Peneliti LSJ FH UGM Ungkap Dampak Negatif dan Berikan Saran

Pemilu presiden merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi sebuah negara. Di Indonesia, pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemungutan suara. Namun, dalam proses pemilu presiden, terdapat aturan yang cukup kontroversial yaitu Presidential Threshold.

Presidential Threshold merupakan persyaratan jumlah suara minimal yang harus diperoleh oleh partai politik atau koalisi partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden. Dalam Pemilu Presiden 2019, Presidential Threshold ditetapkan sebesar 20%, artinya partai politik atau koalisi partai politik harus memperoleh minimal 20% suara pemilih untuk dapat mengajukan calon presiden.

Namun, pada pemilihan presiden mendatang, Presidential Threshold telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Beberapa pihak berpendapat bahwa penghapusan Presidential Threshold adalah langkah yang demokratis karena memberikan kesempatan bagi partai politik kecil atau independen untuk mengajukan calon presiden. Namun, tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan dampak negatif dari penghapusan Presidential Threshold ini.

Peneliti dari Lembaga Studi Jurnalisme (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Andi Fadly Rahim, mengungkapkan bahwa dampak negatif dari penghapusan Presidential Threshold adalah potensi terjadinya fragmentasi politik. Dengan penghapusan persyaratan jumlah suara minimal, kemungkinan terbentuknya partai politik atau koalisi partai politik yang tidak solid dan hanya mementingkan kepentingan individu atau kelompok tertentu menjadi lebih besar.

Selain itu, Dr. Andi juga menyoroti potensi terjadinya politik uang yang lebih masif dalam pemilihan presiden jika Presidential Threshold dihapuskan. Para calon presiden atau partai politik akan lebih cenderung menggunakan uang sebagai alat untuk memperoleh suara, tanpa memperhatikan substansi dari program-program yang mereka tawarkan kepada rakyat.

Untuk itu, Dr. Andi memberikan saran agar penghapusan Presidential Threshold diimbangi dengan peningkatan kualitas demokrasi dan partisipasi politik masyarakat. Partai politik harus lebih fokus pada penyusunan program-program yang berkualitas dan berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan hanya sekadar memenangkan suara dengan cara-cara yang tidak etis.

Selain itu, penegakan hukum terhadap praktik politik uang juga perlu ditingkatkan, sehingga pemilihan presiden dapat berlangsung secara adil dan jujur. Dengan demikian, penghapusan Presidential Threshold tidak hanya menjadi sebuah langkah menuju demokrasi yang lebih inklusif, tetapi juga membawa manfaat positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.